Selasa, 08 Desember 2009

Politik Anggaran Dalam UN

Oleh Galih Imaduddin
Pemerintah tetap akan menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) pada 2010, meskipun Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pemerintah terkait penghentian UN. Penolakan pemerintah itu akan menimbulkan dilema baru, terutama dari sisi ketaatan hukum. Penyelenggaraan UN terutama dimaksudkan untuk memetakan mutu dan standardisasi pendidikan di seluruh Indonesia karena kualitas pendidikan nasional demikian beragam atau tidak merata. Melalui hasil UN itu, kelak dapat dilihat gambaran pendidikan secara lebih jelas dan kemudian diupayakan cara-cara peningkatan kualitasnya.
Dalam berbagai kesempatan, Mendiknas Muhammad Nuh menegaskan, hasil UN akan tetap dijadikan sebagai syarat kelulusan karena hal itu merupakan apresiasi terhadap siswa. Menurut dia, akan percuma saja kalau hasil UN hanya dijadikan sebagai alat pemetaan. Menjadikan hasil UN sebagai syarat kelulusan dinilai akan berdampak positif bagi mental siswa untuk siap berkompetisi di tingkat nasional dan global.
Apa yang diungkapkan Mendiknas ini patut dikritisi. Poin utamanya, kelulusan yang didasari hasil UN telah mengabaikan kemampuan siswa. Dalam dunia pendidikan yang baik, tugas negara adalah memberikan fasilitas kepada siswa agar berkembang, berinovasi, berkreasi, dan berimajinasi. Artinya, memilah-milah hasil belajar para siswa selama bertahun-tahun hanya dengan beberapa item materi pelajaran pokok jelas pengerdilan terhadap potensi-potensi unik yang mungkin dimiliki oleh setiap siswa. Analoginya, apakah siswa yang memiliki prestasi tinggi di bidang olahraga atau kesenian, harus dinyatakan tidak lulus semata-mata hanya karena ia mendapatkan nilai jelek pada mata pelajaran, misalnya, matematika?
Politik anggaran?
Kengototan pemerintah untuk tetap menggelar UN 2010 dan seterusnya memang cukup mengherankan. Salah satu hal yang patut ditelisik mungkin terletak pada aspek anggaran. Pemerintah telah menganggarkan dana Rp 572,850 miliar untuk menyukseskan pelaksanaan UN dari tingkat SD hingga SMA atau setaranya. Biaya tersebut sudah termasuk biaya pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Internasional (UASBN) bagi murid SD, Madrasah Ibtidaiah (MI) dan SDLB serta paket.
Menurut keterangan resmi Depdiknas yang dikutip oleh berbagai media nasional, biaya tersebut untuk pelaksanaan UN, termasuk di dalamnya biaya sosialisasi, pembuatan soal, yang ditujukan baik untuk pusat maupun daerah. Untuk tingkat SD, anggaran untuk pelaksanaan UN mencapai Rp 54,6 miliar. Jumlah itu ditambah biaya sosialisasi Rp 27,6 miliar.
Untuk SMP, pelaksanaan UN-nya membutuhkan dana Rp 189,6 miliar, sedangkan untuk SMA Rp 120,4 miliar. Dana sosialisasi untuk tingkat SMP hingga SMA mencapai Rp 18,8 miliar. Di dalam besaran dana tersebut (18,8 miliar), termasuk di dalamnya biaya untuk pembuatan soal. Guna memperlancar pelaksaan UN tingkat SMP dan SMA pemerintah menganggarkan Rp 57,9 miliar bagi Tim Pemantau Independen (TPI). TPI ini untuk membantu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) memantau kesesuaian pelaksanaan UN 2008 dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan UN jelas melibatkan perputaran uang yang tidak sedikit. Tidak mengherankan apabila banyak kepentingan yang terkait di dalamnya. Baik Depdiknas maupun dinas-dinas pendidikan di setiap provinsi dan kota/kabupaten pasti telah mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan UN 2010 sejak dari tahun anggaran 2009. Tentunya, sebagian dari alokasi tersebut ada yang telah terpakai demi menjalankan berbagai program dan langkah persiapan pelaksanaan UN dan semua itu harus ada pertanggungjawabannya. Apabila kemudian UN tiba-tiba langsung dihapus pada 2010, akan menimbulkan kesulitan dan kekisruhan dalam mekanisme pelaporan keuangan tahunan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Itulah kiranya yang bisa dijadikan titik terang tentang mengapa pemerintah merasa berkepentingan untuk tetap menjalankan UN pada 2010.
Keprihatinan
Karut-marut dalam ranah sistem pendidikan nasional patut membuat publik prihatin. Alih-alih memikirkan konstruksi sistem pengajaran yang progresif dan berwawasan ke depan, pendidikan di Indonesia malah lebih sering diributkan dengan permasalahan pemindahan tahun ajaran, kurikulum baru, masalah buku pendidikan, anggaran yang tidak memadai, dan berbagai aspek komersial lain. Begitu banyak permasalahan di sektor pendidikan itu sepertinya membuat pemerintah tidak pernah fokus dalam mencapai tujuan. Hasilnya adalah output lulusan-lulusan yang semenjana secara intelektual karena lebih mementingkan hasil daripada proses belajar.
Ujian nasional, secara tidak langsung, turut menambah rumit permasalahan pendidikan. Dari tahun ke tahun, publik dapat menyaksikan langsung setiap akhir semester, sekolah-sekolah disibukkan dengan persiapan ujian, bukan meningkatkan mutu kualitas pendidikan. Latihan soal, persiapan melipat kertas, dan birokrasi pelaksanaan ujian menjadi jauh lebih penting ketimbang memikirkan bagaimana mendorong siswanya menjadi insan yang selain pandai dan cerdas, juga berbudi pekerti luhur. Jika memang tidak mungkin untuk dibatalkan karena berbagai "kesulitan politik anggaran" yang mengiringinya, biarlah pelaksanaan UN 2010 menjadi "kemalangan" terakhir bagi siswa, guru, dan orang tua murid. Terpenting, publik tidak boleh lelah untuk menekan pemerintah dan DPR untuk memperbarui standardisasi pendidikan di Indonesia sehingga pada 2011, tidak akan ada lagi bencana-bencana psikologis yang diakibatkan oleh pelaksanaan ujian nasional.***
Penulis, Dosen Luar Biasa Jurusan HI Unpad, tinggal di Bandung.

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=114711

Mutu Guru di Indonesia Masih Terbilang Rendah Pemerintah Harus Fokus pada Peningkatan Kompetensinya

BANDUNG, (PR).-
Meski menduduki peringkat keempat dunia dari sisi jumlah guru dan sekolah, tetapi Indonesia belum bisa bersaing dari sisi kualitas pendidikan. Penyebab utama hal tersebut adalah masih rendahnya mutu guru.

Demikian diungkapkan pemimpin Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Salahuddin Wahid seusai silaturahmi di Universitas Nasional Pasim Bandung, Senin (7/12). "Jangankan bersaing di tingkat dunia, di tingkat Asia Tenggara, seperti dengan Malaysia dan Thailand saja masih belum bisa," katanya.

Dengan jumlah guru mencapai 2,8 juta secara nasional, Indonesia berada di bawah Amerika Serikat yang menduduki posisi ketiga. Sementara urutan pertama dan kedua ditempati Cina dan India. Namun, dari hasil pemeringkatan dunia yang dia kutip, bidang matematika misalnya dengan skor 400-625, rata-rata kemampuan matematika sumber daya manusia (SDM) di Singapura mencapai sekitar 600, Malaysia 550, dan Indonesia 400.

"Kompetensi guru kita masih rendah. Seharusnya pemerintah fokus kepada peningkatan kesejahteraan dan kompetensi mereka," kata Dewan Penasihat Universitas Nasional Pasim Bandung itu.

Dia menambahkan, program sertifikasi yang dijalankan pemerintah belum bisa menjamin peningkatan kesejahteraan guru. Hal itu karena secara jumlah, program tersebut baru mencakup ratusan ribu dari jutaan jumlah guru.

"Seharusnya pelatihan pun terus diberikan kepada guru untuk meningkatkan kompetensi mereka," katanya. Hal tersebut, kata dia, sebenarnya dapat dilakukan, mengingat secara anggaran pendidikan di Indonesia sudah cukup tinggi. "Yang penting dari anggaran tersebut adalah efektivitas dan efisiensinya," ujarnya.

Dia menilai, efektivitas dan efisiensi anggaran tersebut masih tergolong rendah. "Masih banyak terjadi kebocoran dan program seharusnya tepat sasaran," katanya. Hal tersebut, menurut dia, bisa dikatakan sebagai indikator bahwa pendidikan belum menjadi prioritas pemerintah.

Terkait dengan UN, menurut dia, sebaiknya pemerintah menundanya lima hingga enam tahun dengan perbaikan kualitas guru. "Kalau tidak ada perbaikan dan UN tetap dilaksanakan, yang terjadi ya seperti selama ini, banyak kecurangan. Karena kalau kualitas sekolah menurun, kan tidak akan dapat murid. Itu memang lingkaran setan," katanya.

Sementara itu, Guru Besar Sejarah dan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Said Hamid Hasan menekankan pentingnya peningkatan kompetensi guru oleh pemerintah. "Setiap tahun mereka seharusnya mendapatkan pelatihan, baik dari segi materi maupun metode pembelajaran. Itu harus rutin, bukan projek," ujarnya. (A-167)***

sumber:
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=114711